Banalitas Kerusakan Lingkungan Dan Dosa Kolektif Masa Kini - Ardi Holmes
TjMRlr4CceqlrtkB0Ce0BnkM2b5IZCPJzobEJ1si
Bookmark

Banalitas Kerusakan Lingkungan Dan Dosa Kolektif Masa Kini

Kita tahu kerusakan lingkungan makin hari makin parah, namun siapa peduli?

Setiap hari kita merusak lingkungan melalui kebiasaan yang dianggap normal, persis seperti teori "banalitas kejahatan" Hannah Arendt—kejahatan terjadi bukan dari niat jahat, tapi dari ketidakpedulian dan kepatuhan pada sistem. Meskipun tindakan individual kita tampak kecil, dampak kolektifnya menghancurkan, dan generasi mendatang akan meminta pertanggungjawaban atas sikap pasif kita saat ini.

Kita hidup di zaman paradoks yang mengerikan: masyarakat global yang sepenuhnya sadar akan krisis lingkungan yang berjalan lambat namun tak terelakkan, tetapi secara kolektif lumpuh dalam meresponsnya. Berita-berita tentang kerusakan lingkungan memenuhi media sosial kita, penelitian ilmiah memperingatkan kita tentang batas-batas planet yang telah dilanggar, dan kita bahkan menyaksikan tanda-tanda pemanasan global dalam kehidupan sehari-hari — musim panas yang semakin panas, badai yang semakin intens, dan ketidakstabilan cuaca yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, bagi sebagian besar dari kita, kehidupan berjalan seperti biasa. Kita terus mengemudi, terbang, mengkonsumsi, dan membuang sampah dengan sedikit pemikiran tentang konsekuensinya. Kebanyakan dari kita, termasuk saya sendiri, tidak menganggap diri kita sebagai penjahat lingkungan, tetapi sejarah mungkin akan menilai kita dengan sangat berbeda.

Hannah Arendt, dalam karyanya yang menonjol "Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil" (1963), mengajukan konsep yang menggelisahkan bahwa kejahatan terbesar sering kali dilakukan bukan oleh monster sadis, tetapi oleh manusia biasa yang hanya "mengikuti perintah" atau berpegang pada norma-norma sosial tanpa berpikir secara kritis. Adolf Eichmann, seorang birokrat Nazi yang bertanggung jawab atas logistik transportasi jutaan Yahudi ke kamp kematian, digambarkan oleh Arendt bukan sebagai fanatik yang penuh kebencian, tetapi sebagai birokrat yang biasa-biasa saja yang melaksanakan tugasnya tanpa pemikiran moral yang mendalam. Ini yang dia sebut "banalitas kejahatan" — bahwa kejahatan yang paling mengerikan bisa menjadi rutin, biasa, dan dilakukan tanpa kejahatan yang jelas.

Konsep Arendt tentang "banalitas kejahatan" sangat relevan dengan cara kita secara kolektif merusak planet ini. Setiap hari, miliaran manusia melakukan tindakan-tindakan kecil yang, ketika dijumlahkan, menghasilkan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Namun, hanya sedikit dari kita yang menganggap diri kita sebagai pelaku kejahatan lingkungan. Kita hanya mengikuti norma-norma sosial, hidup dengan cara yang dianggap "normal" dalam masyarakat kita, dan jarang mempertanyakan dampak kolektif dari tindakan kita.

Kejahatan Lingkungan Tanpa "Penjahat": Krisis Tanggung Jawab di Era Antroposen

Antroposen — era geologis yang ditandai oleh dominasi manusia atas lingkungan planet — menghadirkan tantangan moral yang belum pernah kita hadapi sebelumnya. Berbeda dengan kejahatan tradisional, kerusakan lingkungan sering kali tidak memiliki satu pelaku tunggal yang dapat disalahkan. Sebagaimana dicatat oleh filsuf lingkungan Dale Jamieson dalam bukunya "Reason in a Dark Time" (2014), "konsep moral tradisional kita dikembangkan untuk masalah di mana sebab dan akibat bersifat lokal dan terlihat. Mereka tidak dirancang untuk masalah di mana sebab dan akibat terpisah secara waktu dan ruang, dan ada ketidakpastian."

Tantangan moral dari krisis lingkungan terletak pada sifatnya yang menyebar dan sistemik. Sebagaimana dicatat oleh Robert Nixon dalam "Slow Violence and the Environmentalism of the Poor" (2013), kerusakan lingkungan seringkali merupakan bentuk "kekerasan yang lambat" — kerusakan yang tidak dramatis dan tidak terjadi sekaligus, melainkan tersebar, bertahap, dan tidak terlihat. Ini adalah kekerasan "dari penundaan, dari tindakan destruktif yang tersebar di ruang dan waktu." Sifat kekerasan yang lambat ini membuatnya sulit untuk ditampilkan atau diceritakan, dan karenanya sulit untuk memobilisasi tanggapan kolektif yang memadai.

Siapa yang harus bertanggung jawab ketika jutaan keputusan individu yang tampaknya tidak berbahaya menghasilkan bencana kolektif? Apakah seorang warga negara biasa yang menggunakan mobil untuk bekerja setiap hari adalah "penjahat lingkungan"? Bagaimana dengan orang tua yang menggunakan popok sekali pakai untuk bayinya? Atau seseorang yang menikmati steak seminggu sekali? Tidak ada dari tindakan ini yang terlihat berbahaya secara inheren atau didorong oleh niat jahat, namun dampak kolektif mereka sangat besar.

Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam laporannya tahun 2022 mencatat bahwa emisi gas rumah kaca manusia telah menyebabkan pemanasan sekitar 1,1°C dibandingkan dengan tingkat pra-industri, dan kita berisiko melampaui ambang batas 1,5°C dalam beberapa dekade mendatang. Ini bukan hasil dari tindakan jahat yang disengaja, tetapi konsekuensi dari cara hidup yang telah kita normalisasi dan bahkan rayakan.

Akibatnya, kita menghadapi apa yang disebut oleh filsuf Stephen Gardiner dalam "A Perfect Moral Storm" (2011) sebagai "badai moral sempurna" — situasi di mana tanggung jawab moral tersebar luas, dampaknya jatuh terutama pada generasi mendatang yang tidak memiliki suara dalam keputusan kita, dan institusi kita tidak mampu mengatasi masalah dengan skala dan urgensi yang diperlukan.

Fast fashion menjadikan kita lebih sering berbelanja pakaian, yang justru sebenarnya baju atau celana yang ada masih layak dan pantaa untuk digunakan sehari-hari

Banalitas Lingkungan: Bagaimana Kita Menormalkan Perusakan Planet

Mekanisme psikologis dan sosial yang memungkinkan kita untuk terus berpartisipasi dalam kerusakan lingkungan sambil melihat diri kita sendiri sebagai orang baik sangat mirip dengan apa yang Arendt identifikasi dalam kasus Eichmann. Seperti yang dicatat oleh psikolog Albert Bandura dalam teorinya tentang pelepasan moral (moral disengagement), manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk membenarkan tindakan yang merusak tanpa mengakui tanggung jawab moral.

Salah satu bentuk pelepasan moral adalah "difusi tanggung jawab" — gagasan bahwa ketika banyak orang berkontribusi pada hasil yang merusak, masing-masing merasa kurang bertanggung jawab. Dalam konteks krisis lingkungan, ini sering muncul dalam pemikiran seperti "apa yang saya lakukan tidak akan membuat perbedaan dalam skema besar" atau "mengapa saya harus berkorban ketika orang lain tidak melakukannya?" Pemikiran semacam ini mengaburkan fakta bahwa krisis lingkungan adalah hasil dari miliaran keputusan individu, masing-masing kemungkinan tidak berbahaya secara terpisah, tetapi secara kolektif bencana.

Bentuk pelepasan moral lainnya adalah "perbandingan yang menguntungkan" — kecenderungan untuk membandingkan tindakan kita dengan alternatif yang lebih buruk untuk membuat mereka tampak lebih dapat diterima secara moral. Kita mungkin membenarkan perjalanan udara kita dengan menunjukkan bahwa kita tidak terbang sesering tetangga kita, atau membenarkan konsumsi daging kita dengan mengatakan bahwa setidaknya kita membeli dari sumber yang "berkelanjutan". Perbandingan semacam ini memungkinkan kita untuk merasa bermoral sambil terus berpartisipasi dalam praktik yang tidak berkelanjutan.

Timothy Morton, dalam bukunya "Hyperobjects" (2013), berpendapat bahwa salah satu alasan kita kesulitan menghadapi krisis lingkungan adalah karena fenomena seperti perubahan iklim adalah apa yang dia sebut "hyperobjek" — entitas yang sangat tersebar dalam waktu dan ruang sehingga sulit bagi pikiran manusia untuk sepenuhnya memahaminya. Perubahan iklim tidak terjadi di satu tempat atau pada satu waktu; itu terjadi di mana-mana dan sepanjang waktu, membuatnya sulit untuk dipahami atau dirasakan sebagai ancaman langsung. Ini memungkinkan kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari kita dengan sedikit pemikiran tentang krisis yang sedang berlangsung.

Contoh kasus nyata dari banalitas kerusakan lingkungan dapat dilihat dalam industri fast fashion. Menurut laporan dari Ellen MacArthur Foundation (2017), industri tekstil menghasilkan lebih banyak emisi karbon daripada semua penerbangan internasional dan pengiriman maritim yang digabungkan. Laporan "Detox My Fashion" dari Greenpeace (2018) mengungkapkan bahwa industri fast fashion bukan hanya masalah konsumsi berlebih, tetapi juga menyebabkan pencemaran air besar-besaran di negara-negara berkembang. Investigasi mereka menemukan zat-zat berbahaya dalam limbah pabrik tekstil di China, Mexico, dan Indonesia yang mengancam ekosistem air dan kesehatan manusia. Namun, banyak konsumen terus membeli pakaian murah dan sekali pakai tanpa berpikir dua kali tentang dampak lingkungannya. Pembelian semacam ini tidak didorong oleh niat untuk merusak planet, tetapi oleh konformitas dengan norma sosial, tekanan ekonomi, dan keinginan akan kenyamanan dan variasi. Ini adalah contoh klasik dari banalitas kejahatan lingkungan — kerusakan yang signifikan yang terjadi tidak karena niat jahat, tetapi karena ketaatan yang tidak reflektif terhadap norma sosial.

Contoh lain adalah ekstraksi bahan bakar fosil yang terus berlanjut di seluruh dunia meskipun ada konsensus ilmiah yang kuat tentang dampaknya terhadap iklim. Laporan "Fossil Fuel Giants" dari Global Witness (2022) mengungkapkan bahwa 25 perusahaan bahan bakar fosil terbesar dunia telah menghabiskan lebih dari $160 juta per tahun untuk melobi penundaan kebijakan iklim, sambil secara publik mengklaim mendukung Perjanjian Paris. Laporan "Fossil Fuel Exit Strategy" dari Climate Action Network (2021) menunjukkan bahwa meskipun retorika hijau mereka, sebagian besar perusahaan energi besar masih mengalokasikan kurang dari 5% investasi mereka untuk energi terbarukan. Pada 2021, Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan bahwa untuk mencapai target iklim global, tidak boleh ada investasi baru dalam proyek bahan bakar fosil. Namun, perusahaan energi dan pemerintah terus menginvestasikan triliunan dolar dalam infrastruktur bahan bakar fosil baru. Para eksekutif dan pembuat kebijakan yang membuat keputusan ini tidak melihat diri mereka sebagai penjahat lingkungan; mereka hanya mengikuti logika sistem ekonomi yang ada dan norma industri mereka. Seperti Eichmann, mereka "hanya melakukan pekerjaan mereka."

Bahaya Penundaan: Kejahatan Pasif Dan Urgensi Moral Masa Kini

Ada dimensi temporal yang menggelisahkan dari banalitas kejahatan lingkungan. Tidak seperti kejahatan tradisional yang dampaknya segera terlihat, kerusakan lingkungan seringkali membutuhkan waktu yang lama untuk sepenuhnya terwujud. Ini menciptakan apa yang disebut filosof Roman Krznaric dalam bukunya "The Good Ancestor" (2020) sebagai "tirani jarak waktu" — kecenderungan manusia untuk memprioritaskan kebutuhan jangka pendek daripada kebaikan jangka panjang.

Penundaan antara tindakan dan konsekuensi membuat lebih mudah bagi kita untuk menghindari tanggung jawab moral. Seperti yang dicatat oleh filsuf Stephen Gardiner, "ketika konsekuensi dari tindakan kita sebagian besar di masa depan, mudah untuk mengatakan, 'Ya, akan ada beberapa dampak negatif dari tindakan kita, tetapi mereka berada di masa depan yang jauh, jadi kita tidak perlu terlalu khawatir tentang mereka sekarang.'" Sikap seperti ini mengabaikan fakta bahwa bahkan jika konsekuensi penuh dari tindakan kita belum terlihat, keputusan yang kita buat hari ini akan membentuk dunia yang akan diwarisi oleh generasi mendatang.

Laporan terbaru dari Program Lingkungan PBB (UNEP) memperingatkan bahwa bahkan jika semua negara memenuhi komitmen iklim mereka saat ini, kita masih akan menghadapi pemanasan global sebesar 2,7°C pada akhir abad ini — jauh di atas ambang batas 1,5°C yang disepakati dalam Perjanjian Paris. Ini adalah hasil langsung dari penundaan dan setengah hati dalam tindakan iklim, yang didasarkan pada keyakinan yang nyaman bahwa kita masih punya banyak waktu untuk bertindak.

Dalam esainya yang berpengaruh, "The Tragedy of the Commons" (1968), Garrett Hardin menggambarkan bagaimana individu-individu yang bertindak secara rasional dalam kepentingan diri mereka sendiri dapat secara kolektif menghancurkan sumber daya bersama, bahkan ketika ini bukan dalam kepentingan jangka panjang siapa pun. Dinamika ini terlihat jelas dalam krisis lingkungan kita. Bahkan jika kita secara individu menyadari bahwa tindakan kolektif untuk mengatasi krisis iklim adalah demi kebaikan kita bersama, kita menghadapi insentif jangka pendek yang kuat untuk terus berperilaku seolah-olah tidak ada krisis.

Penundaan dalam tindakan iklim juga menciptakan ketidakadilan antar generasi yang parah. Seperti yang ditekankan oleh Edith Brown Weiss dalam "In Fairness to Future Generations" (1989), kita memiliki kewajiban untuk mewariskan dunia yang setidaknya dalam kondisi yang sama baiknya dengan yang kita terima. Dengan terus merusak lingkungan, kita secara efektif mencuri dari generasi masa depan, mengorbankan kesejahteraan mereka demi kenyamanan kita. Ini adalah bentuk ketidakadilan temporal yang biasanya tidak diakui oleh sistem etika tradisional kita.

Ketidakadilan ini diperburuk oleh fakta bahwa dampak kerusakan lingkungan tidak didistribusikan secara merata. Seperti yang dicatat oleh Rob Nixon, "lingkungan yang rusak adalah lingkungan penuh korban, tetapi sebagian besar korban ini belum lahir." Dan di antara mereka yang sudah lahir, beban terberat sering jatuh pada mereka yang paling tidak mampu menanggungnya — komunitas miskin, masyarakat adat, dan negara-negara Global South yang telah berkontribusi paling sedikit terhadap masalah tersebut. Menurut Laporan Ketidaksetaraan Dunia 2022, 10% orang terkaya di dunia bertanggung jawab atas hampir 50% dari semua emisi karbon, sementara 50% orang termiskin hanya menyumbang sekitar 12%.

Contoh nyata dari penundaan ini dan konsekuensinya dapat dilihat dalam kasus Pulau Marshall di Pasifik. Negara kepulauan ini, yang hanya menyumbang sebagian kecil dari emisi gas rumah kaca global, diproyeksikan akan sebagian besar tidak dapat dihuni pada pertengahan abad ini karena naiknya permukaan laut. Laporan "Drowning Islands" dari Greenpeace Pasifik (2021) mendokumentasikan bagaimana kenaikan permukaan laut sudah mengakibatkan intrusi air asin yang merusak persediaan air tawar dan lahan pertanian di banyak negara kepulauan Pasifik. Lebih lanjut, laporan "Climate Justice: The International Dimension" dari Friends of the Earth (2023) menunjukkan bahwa negara-negara kepulauan kecil yang paling rentan terhadap perubahan iklim menerima kurang dari 10% dari dana adaptasi iklim global yang dijanjikan oleh negara-negara kaya. Sebuah laporan tahun 2020 oleh Bank Dunia memperkirakan bahwa hingga 216 juta orang bisa menjadi migran iklim internal pada tahun 2050 akibat krisis iklim. Investigasi "Environmental Defenders" dari Amnesty International (2022) juga mengungkapkan bahwa lebih dari 200 aktivis lingkungan dibunuh setiap tahun, sebagian besar di negara-negara Global South, saat mereka mencoba melindungi tanah dan air mereka dari eksploitasi. Ini adalah contoh nyata dari "kekerasan yang lambat" yang dijelaskan oleh Nixon — kerusakan yang terjadi secara bertahap tetapi dengan konsekuensi yang menghancurkan.

Melawan Banalitas: Tanggung Jawab Moral di Era Krisis Lingkungan

Konsep Arendt tentang "banalitas kejahatan" tidak hanya menawarkan lensa untuk memahami krisis lingkungan kita, tetapi juga menunjukkan jalan ke depan. Antidot untuk banalitas, menurut Arendt, adalah pemikiran kritis dan penilaian moral yang mandiri. Seperti yang dia tulis, "Berpikir... bukanlah aktivitas elit; itu adalah aktivitas yang melekat pada kondisi manusia sebagai manusia." Untuk mengatasi krisis lingkungan, kita harus mengembangkan kapasitas untuk berpikir kritis tentang tindakan kita sendiri dan sistem yang kita ambil bagian, dan untuk mengambil tanggung jawab moral atas konsekuensinya.

Filsuf kontemporer Kathleen Dean Moore, dalam "Great Tide Rising" (2016), berpendapat bahwa krisis lingkungan pada dasarnya adalah krisis moral. Dia menulis, "Masalah sebenarnya bukanlah bagaimana kita dapat mengurangi emisi karbon kami. Masalah sebenarnya adalah bagaimana kita dapat hidup dengan hormat terhadap dunia alami dan satu sama lain." Ini membutuhkan pergeseran fundamental dalam nilai-nilai kita — dari etos konsumerisme dan individualisme ke etika kepedulian, tanggung jawab, dan kehidupan yang berkelanjutan.

Pergeseran nilai ini harus disertai dengan pergeseran dalam struktur sosial dan ekonomi kita. Seperti yang dicatat oleh ilmuwan politik Elinor Ostrom, pemenang Hadiah Nobel, dalam karyanya tentang tata kelola sumber daya bersama, diperlukan institusi kolektif untuk mengelola sumber daya bersama seperti atmosfer dan lautan secara berkelanjutan. Dalam "Governing the Commons" (1990), dia menunjukkan bahwa komunitas di seluruh dunia telah mengembangkan sistem tata kelola yang efektif untuk sumber daya bersama, menantang narasi bahwa tragedi bersama tidak dapat dihindari.

Dalam konteks krisis global seperti perubahan iklim, ini membutuhkan lembaga dan perjanjian internasional yang kuat, seperti yang ditekankan oleh Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim. Namun, seperti yang dicatat oleh banyak kritikus, perjanjian saat ini tidak cukup ambisius atau mengikat untuk mencegah pemanasan global yang berbahaya. Laporan "The Production Gap" yang dikeluarkan oleh UNEP dan lembaga penelitian lainnya pada tahun 2021 menemukan bahwa pemerintah masih berencana untuk memproduksi lebih dari dua kali jumlah bahan bakar fosil pada tahun 2030 dibandingkan dengan apa yang akan konsisten dengan membatasi pemanasan global hingga 1,5°C.

Respon yang memadai terhadap krisis lingkungan juga membutuhkan redistribusi kekuasaan politik dan ekonomi. Seperti yang dikatakan oleh aktivis lingkungan Vandana Shiva, "Ekologi dan demokrasi tidak dapat dipisahkan." Dalam bukunya "Earth Democracy" (2005), dia berpendapat bahwa krisis lingkungan terkait erat dengan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, dan bahwa solusi harus mencakup redistribusi kekuasaan ke komunitas lokal dan orang-orang yang paling terkena dampaknya.

Pada tingkat individu, mengatasi banalitas kejahatan lingkungan membutuhkan apa yang disebut filsuf Joan Tronto sebagai "etika kepedulian" — pengakuan akan ketergantungan kita pada orang lain dan dunia alami, dan tanggung jawab moral yang muncul dari hubungan ini. Dalam "Moral Boundaries" (1993), Tronto berpendapat bahwa etika kepedulian dapat membantu kita mengatasi individualisme yang mendasari banyak masalah lingkungan kita.

Pentingnya kepedulian dan hubungan juga ditekankan oleh filsuf Arne Naess dalam konsepnya tentang "ekologi dalam" (deep ecology). Menurut Naess, krisis lingkungan berakar pada pandangan dunia antroposentris yang memisahkan manusia dari alam. Solusinya terletak pada pengembangan kesadaran ekologis yang lebih dalam — pemahaman bahwa kita adalah bagian dari web kehidupan yang saling berhubungan, dan bahwa merusak alam berarti merusak diri kita sendiri.

Contoh nyata dari pendekatan alternatif dapat dilihat dalam gerakan seperti "Fridays for Future", yang dimulai oleh aktivis iklim Greta Thunberg. Gerakan ini menekankan tanggung jawab moral generasi saat ini untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim demi generasi masa depan. Dengan menolak untuk menerima "normalitas" emisi karbon yang terus berlanjut, gerakan semacam ini menantang banalitas kejahatan lingkungan.

Laporan "Break Free From Plastic" yang dikeluarkan oleh koalisi lebih dari 1.000 NGO lingkungan (2023) telah mengidentifikasi perusahaan-perusahaan multinasional yang bertanggung jawab atas sebagian besar polusi plastik global dan mengadvokasi solusi berbasis masyarakat. Aksi nyata juga terlihat dalam kampanye "Protect the Oceans" dari Greenpeace yang berhasil mendorong disepakatinya Perjanjian Lautan Tinggi PBB pada tahun 2023, yang akan melindungi 30% lautan dunia pada tahun 2030. Laporan "Indigenous Environmental Network" (2022) menunjukkan bahwa proyek-proyek yang dipimpin oleh masyarakat adat telah mencegah atau menunda emisi gas rumah kaca setara dengan seperempartdari total emisi tahunan AS dan Kanada.

Contoh lain adalah Kota Amsterdam, yang pada tahun 2020 mengadopsi model ekonomi "donat" yang dikembangkan oleh ekonom Kate Raworth. Model ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan semua orang dalam batas-batas planet, menawarkan kerangka kerja untuk pembangunan ekonomi yang secara inheren berkelanjutan. Inisiatif "Transition Towns" yang didokumentasikan oleh WWF dalam laporan "Cities of the Future" (2023) menunjukkan bagaimana lebih dari 1.000 komunitas di 40 negara telah mengadopsi pendekatan regeneratif terhadap pangan, energi, dan ekonomi lokal. Dengan mengadopsi model-model seperti itu, komunitas ini mengakui bahwa "bisnis seperti biasa" tidak lagi dapat diterima dalam menghadapi krisis lingkungan.

Kepedulian terhadap lingkungan menjadi manfaat bagi kita untuk saat ini dan masa depan

Tanggung Jawab Kolektif Kita Sebagai Manusia

Krisis lingkungan kita mungkin akan menjadi ujian moral terbesar yang dihadapi umat manusia. Seperti "banalitas kejahatan" yang digambarkan Arendt, "banalitas kerusakan lingkungan" memungkinkan jutaan orang baik untuk berpartisipasi dalam sistem yang secara kolektif merusak planet kita. Namun, tidak seperti kejahatan Holocaust, yang terjadi di masa lalu dan sekarang dapat kita kutuk dengan jelas, kejahatan lingkungan kita masih berlangsung. Kita adalah pelakunya, dan kita masih punya waktu untuk mengubah jalannya.

Dalam bukunya "Learning to Die in the Anthropocene" (2015), Roy Scranton berpendapat bahwa menghadapi krisis lingkungan membutuhkan semacam kematian — kematian cara hidup yang tidak berkelanjutan dan identitas yang dibangun di sekitarnya. Ini adalah proses yang sulit dan bahkan menyakitkan, tetapi juga menawarkan kemungkinan kelahiran kembali — kemunculan cara baru untuk berhubungan dengan satu sama lain dan dengan planet kita.

Pada akhirnya, mengatasi banalitas kejahatan lingkungan membutuhkan apa yang disebut filsuf Joanna Macy sebagai "Pergeseran Besar" — transformasi kesadaran dari masyarakat industrial-pertumbuhan ke "peradaban yang berkelanjutan secara ekologis dan memulihkan secara sosial." Seperti yang dia dan Chris Johnstone tulis dalam "Active Hope" (2012), ini bukan tentang menunggu perubahan terjadi, tetapi secara aktif berpartisipasi dalam menciptakannya.

Sejarah mungkin akan menilai generasi kita dengan keras atas kegagalan kita untuk bertindak dalam menghadapi krisis lingkungan. Atau, mungkin generasi mendatang akan melihat kembali masa kita sebagai titik balik — saat ketika, dihadapkan dengan bukti kerusakan yang kita sebabkan, kita akhirnya menemukan keberanian moral untuk mengubah jalannya. Pilihan itu ada di tangan kita. Seperti yang dikatakan aktivis lingkungan terkenal David Suzuki, "Kami sekarang adalah generasi revolusioner yang harus mengubah segalanya. Ini adalah peluang yang menarik, karena kita bisa memilih untuk bersikap bijaksana, berpikir jangka panjang, dan melampaui keinginan kita sendiri."

DAFTAR PUSTAKA

Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. New York: Viking Press.

Bandura, A. (2016). Moral Disengagement: How People Do Harm and Live with Themselves. New York: Worth Publishers.

Brown Weiss, E. (1989). In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity. Tokyo: United Nations University.

Ellen MacArthur Foundation. (2017). A New Textiles Economy: Redesigning Fashion's Future. https://www.ellenmacarthurfoundation.org/a-new-textiles-economy

Gardiner, S. M. (2011). A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change. Oxford: Oxford University Press.

Hardin, G. (1968). The Tragedy of the Commons. Science, 162(3859), 1243-1248.

International Energy Agency. (2021). Net Zero by 2050: A Roadmap for the Global Energy Sector.

IPCC. (2022). Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability.

Jamieson, D. (2014). Reason in a Dark Time: Why the Struggle Against Climate Change Failed - and What It Means for Our Future. Oxford: Oxford University Press.

Krznaric, R. (2020). The Good Ancestor: How to Think Long Term in a Short-Term World. London: WH Allen.

Macy, J., & Johnstone, C. (2012). Active Hope: How to Face the Mess We're in without Going Crazy. Novato, CA: New World Library.

Moore, K. D. (2016). Great Tide Rising: Towards Clarity and Moral Courage in a Time of Planetary Change. Berkeley: Counterpoint.

Morton, T. (2013). Hyperobjects: Philosophy and Ecology after the End of the World. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Naess, A. (1989). Ecology, Community and Lifestyle. Cambridge: Cambridge University Press.

Nixon, R. (2013). Slow Violence and the Environmentalism of the Poor. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Ostrom, E. (1990). Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.

Raworth, K. (2017). Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. London: Random House.

Scranton, R. (2015). Learning to Die in the Anthropocene: Reflections on the End of a Civilization. San Francisco, CA: City Lights Publishers.

Shiva, V. (2005). Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace. Cambridge, MA: South End Press.

Suzuki, D. (2010). The Legacy: An Elder's Vision for Our Sustainable Future. Vancouver: Greystone Books.

Tronto, J. C. (1993). Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic of Care. New York: Routledge.

UNEP. (2021). The Production Gap Report 2021.

World Bank. (2020). Groundswell: Preparing for Internal Climate Migration.

Posting Komentar

Posting Komentar